Tokoku

Belanja Online Klik Tokoku. Belanja Kopi Gayo, Konsultansi Bisnis dan Pelatihan; Klik ChatWAPudjoe.

Selasa, 31 Juli 2018

Asset Vs Beban

Sebenarnya apasih yang dimaksud Asset? Dan apa juga yang dimaksud Beban? Karena selama lebih dari 10 tahun mendampingi pelaku Koperasi dan UMKM, saya menemukan banyak kekeliruan dalam memandang apa yang kita miliki, sebagai Asset atau sebagai Beban.

Pujo Basuki
Konsultan Koperasi dan UMKM
Secara sederhana Asset dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang menghasilkan pendapatan, pemasukan atau keuntungan atau pengurangan biaya. Sedangkan Beban adalah segala sesuatu yang mengakibatkan biaya atau pengeluaran.

Sebuah kendaraan mobil/motor dinamakan Asset apabila dapat menghasilkan suatu pendapatan misalnya uang sewa atau jasa lainnya. Atau setidaknya minimal dapat mengakibatkan pengurangan biaya sehari-hari. Contohnya operasional harian kita 100rb jika tidak ada kendaraan tapi jika ada kendaraan pribadi operasional kita bisa menjadi 50rb.

Tapi jika kendaraan yang kita miliki lebih dari kebutuhan dan justru menimbulkan biaya pemeliharaan dan penyimpanan, maka itu sudah dinamakan Beban, bukan Asset. Apalagi nilai kendaraan dari tahun ke tahun justru akan turun nilainya. Kecuali mobil antik.

Asset dan Beban di KUMKM


Seperti yang saya jelaskan bahwa banyak pelaku KUMKM yang terjebak dalam memandang Asset yang ternyata sebenarnya adalah Beban usaha. Ini diakibatkan oleh perhitungan bisnis yang kurang tepat berdasarkan asumsi.

Contoh; sebuah perusahaan XxXx berskala UKM yang saya dampingi mengeluhkan keinginan untuk pengadaan mesin dan peralatan. Menurut pemiliknya jika dirinya memiliki satu lagi mesin pengaduk dan pengering dengan kapasitas sekian maka usahanya akan dapat berproduksi lebih baik. Dan keuntungan akan mengalir. "Tapi saya belum memiliki uang untuk membelinya. Dapatkah saya diakseskan pembiayaan melalui pinjaman atau hibah?" lanjutnya kemudian.

Sebagai Konsultan Pendamping yang baik tentu saya menyarankan beberapa pertimbangan dengan hitungan bisnis yang matematis dan masuk akal. Perbandingan dapat dilakukan antara kondisi sekarang dan kondisi ketika ada penambahan mesin produksi.

Tidak jarang jika kemudian setelah dihitung dengan benar, pengadaan mesin dan peralatan tambahan yang tadinya dianggap Asset justru akan menjadi Beban. Keuntungan usaha tidak cukup untuk menutupi biaya operasional dan cicilan pembelian mesin. Akibatnya perusahaan lamban tapi pasti akan collaps.

Bisnispun terasa seperti untung tapi faktanya tidak untung.


Karyawan; Asset atau Beban?


Mungkin ini dianggap pertanyaan "bodoh". Namun tidak jarang pelaku usaha kesulitan mengidentifikasi. Akibatnya fenomena keluar-masuk karyawan menjadi hal yang lumrah terjadi. Perusahaan yang dibangunnya pun naik turun terombang-ambing atau bahkan banyak yang sempat oleh ketika ditinggalkan karyawan yang telah dibinanya bertahun. 

Adalah penting bagi para pemilik bisnis untuk memposisikan karyawan untuk lebih memberikan keuntungan dan keberlanjutan bagi perusahaan. Adolf bramandita ade nugroho menulis sebagai berikut;

Karyawan sebagai Asset


Karyawan adalah asset perusahaan. Mengapa demikian? Perusahaan berkembang tidak lepas dari peran karyawan. Dan sekecil apapun peran karyawan, perusahaan tidak dengan serta merta mengabaikannya. Kita bisa melihat ini dari proses awal perekrutan karyawan, perusahaan menetapkan standart tertentu agar sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Dari proses perekrutan ini, dapat dilihat bahwa perusahaan sangat membutuhkan keahlian calon karyawan. Jadi ada proses saling membutuhkan, dengan dasar ketentuan aturan perusahaan. Dari sisi karyawan, dapat dilihat adanya peluang dan harapan untuk memberikan keahliannya bagi perusahaan. Keahlian adalah sesuatu yang mahal. Apalagi ditambah calon karyawan tersebut memunyai bakat tertentu yang tidak dimiliki oleh yang lain. Saya yakin orang-orang yang berbakat ini akan menggerakkan perusahaan meraih tujuannya sekaligus mampu bersaing dalam dunia bisnis.

Kalau berbicara mengenai bisnis, salah satunya akan menyentuh soal profit. Ketika perusahaan tanpa profit, untuk apa perusahaan itu berlama-lama berdiri. Sudah pasti akan runtuh menjadi abu. Dan dampaknya tidak hanya bagi owner tapi karyawan yang berkarya didalamnya. Sejak perusahaan tiap bulan targetnya turun, yang gerah tidak hanya owner atau pemegang saham atau direktur dan manajer, tetapi mereka-mereka yang berada di level karyawan juga. Pada prinsipnya semua yang terlibat dalam pengembangan perusahaan pasti gelisah dan risau. Maka dikeluarkanlah kebijakan khusus untuk menanggulangi krisis perusahaan. Kebijakan ini yang akan dijalankan oleh semua level di perusahaan tersebut. Jadi berkembang ataupun runtuhnya perusahaan tidak lepas dari karyawan. 

Apabila perusahaan memasukkan karyawan sebagai asset, tentunya ada beberapa hal yang menjadi kepedulian perusahaan. Atas dasar asset ini, perusahaan memberikan hak bagi karyawan. Termasuk gaji, cuti, THR, kesehatan, kesejahteraan keluarga dll. Perusahaan juga akan memperhatikan, fokus pada assetnya yang berharga. Bahkan diluar itu perusahaan memberikan bonus bagi karyawan yang berprestasi. Mungkin juuga memberikan kebebasan bagi karyawan yang mau mengembangkan potensinya dan bakatnya. Ini sudah diatur dalam perundang-undangan dan hukum dalam tata cara SDM serta aturan yang dikeluarkan perusahaan. Kalau semua pihak menyadari hal ini, keselarasan hubungan industrial akan berjalan dengan baik, sehingga tercapailah visi misi perusahaan. 


Karyawan sebagai Beban


Berbicara mengenai karyawan merupakan beban perusahaan, kita patut melihat secara jeli. Berarti perusahaan hanya memanfaatkan bakat keahliannya untuk mengembangkan tanpa memberikan hak karyawan. Kalau begitu buat apa perusahaan membutuhkan karyawan? Bukankah akan lebih baik perusahaan menggunakan robot. Jadi dengan robot perusahaan tidak akan lagi berpikir memberikan THR, gaji dll. Bahkan perusahaan menghilangkan unsur sosial sebagai bagian dari keberadaannya di tengah masyarakat.

Perusahaan juga menghilangkan hak karyawan, baik secara terang-terangan dan dengan cara yang halus. Bisa jadi perusahaan hanya menganggap karyawan sebagai robot tanpa melihat sisi manusiawinya. Bekerja, bekerja dan bekerja!!!! Padahal satu sisi karyawan tidak hanya sekedar menginginkan bahwa perusahaan hanya mengukur dari gaji, namun ada keinginan dari karyawan yang lain, yaitu dipenuhinya kehausan rohani. Misalnya rekreasi, outing atau training dsbnya. Sekaligus perhatian dari perusahaan, secara prinsip. Memanusiakan manusia, yang artinya perusahaan perlu menyentuh hal yang berhubungan dengan sisi kejiwaan dan pribadi karyawan. Menghargai keseluruhan potensi yang dimiliki karyawan.[]

1 komentar:

  1. Karyawan bisa jadi beban apa bila karyawan yang tidak produktif

    BalasHapus